Sisi Negatif Kecurangan Ujian Nasional

Ujian nasional merupakan kegiatan evaluasi belajar selama 3 tahun. Dengan ujian nasional, para siswa diharapkan bisa mengukur dan menilai sejauh mana usaha untuk kepahaman terhadap pelajaran yang pernah dibina disekolah mereka. Ini bisa menjadi kekayaan pengalaman dan pengetahuan diri mereka dimasa datangnya.
Namun, pada kenyataan dan beberapa kasus yang pernah terjadi – baik yang tersebar atau yang tidak tersebar – telah terjadi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional. Kecurangan tersebut diantaranya adalah kebocoran soal, tersediannya kunci jawaban Ujian Nasional, Lembar Jawaban Ujian diisi dan diperbaiki pihak lain, serta kejadian-kejadian lainnya yang termasuk ke dalam kecurangan.
Sebagaimana seorang guru seharusnya lebih bisa memberikan pengalaman positif pada ujian nasional. Jangan sampai hal-hal yang bisa merugikan tersebut meng-kontaminasi sekolah kita, karena kecurangan tersebut bisa menimbulkan kerugian yang lebih banyak daripada tidak lulusnya siswa. Kerugian atau sisi negatif dari kecurangan tersebut diantaranya adalah :

1. Menumbuhkan Ketidak-sportifitasan

Ujian hampir mirip dengan lomba dan kompetesi, dimana ada persoalan yang merupakan tantangan untuk menjadi juara. Jika mereka berusaha, mereka memiliki kemungkinan besar menjadi sang juara, namun bagi mereka yang tidak berusaha lebih banyak peluang untuk gagal atau kalah. Cara singkat untuk menjadi juara adalah dengan adanya kunci terhadap persoalan yang dihadapi. Dengan adanya kunci jawaban dari soal Ujian Nasional, siswa tidak perlu belajar dan berusaha keras. Dia dapat dengan mudah menjawab soal / pertanyaan dengan kunci jawaban yang tersedia. Tidak lagi menghitung, menelaah, memikirkan karena jawabannya sudah tersedia. Tantangannya hanya menjaga agar tidak bocor / terdengar oleh (panitia, pengawas ruang, pengawas lapangan atau orang yang lebih menghargai kejujuran.
Dengan kata lain, ketika siswa lain berusaha keras, berpikir keras, berjuang sekuat tenaga dengan kemampuan yang mereka miliki, siswa yang tidak sportif, dengan santai ia menjadi juara (nilai tinggi / masuk kualifikasi).

2. Meningkatkan Konflik dan Kecemburuan Sosial

Permasalahan kecurangan tersebut berlanjut menjadi timbulnya konflik dan kecemburuan sosial di antara peserta ujian nasional. Karena dianggap tidak adilnya dalam usaha untuk menjadi juara – akibat ketidaksportifan. Namun konflik atau kecemburuan sosial tidak akan mencuat apabila kasus kecurangan tersebut disembunyikan atau tidak diketahui oleh pihak lain. Ini bisa kita sebut dengan istilah “rahasia umum”. Diketahui tapi tidak ambil pusing terhadap masalah tersebut.

3. Menumbuhkan Kebiasaan Tidak Jujur

Kita semua tahu bahwa sikap jujur adalah sikap yang tidak menutupi keburukan atau kesalahan yang ada, berani mengambil langkah tanpa menepikan rasa tanggung jawab. Kecurangan sebagaimana kita ketahui adalah tindakan yang tidak terpuji, karena melakukan kesalahan dan menutupinya. Pada ujian nasional, kecurangan lebih banyak dilakukan oleh siswa sebagai peserta, namun apabila tidak ada celah dan dukungan dari pihak lain kemungkinan besar mereka akan tetapterbiasa untuk bersaing secara sehat dan jujur. Pihak-pihak yang terkait ini bisa jadi adalah orang termasuk ke dalam lingkung sebutan “guru”. Para peserta tidak akan berani dan akan berpikir lebih positif apabila mereka “diajarkan” untuk berbuat jujur, tanpa khawatir apa yang akan terjadi di masa datang.
Guru yang baik akan menuntun mereka ke jalan yang benar lagi baik, agar mereka terbiasa nantinya ketika guru bukan menjadi pembimbing hidupnya lagi. Mereka akan mengerti saat itu atau di lain waktu setiap perbuatan yang baik dan benar, akan berbuah kebaikan pula bagi dirinya.

4. Melatih Ketidak-percayaan Diri

Kecurangan mengandung makna adanya bantuan dari luar untuk menjadi yang dianggap terbaik disekelilingnya. Ketika para siswa selalu dibantu oleh guru saat proses pendewasaannya dan kala ia masih dalam “belajar”, mereka akan terbiasa untuk hidup bergantung dengan bantuan dari luar.
Guru yang baik tentu mengerti bagaimana seharusnya dan dimana tepatnya ia harus dipimpin (dari depan), didampingi (dari samping), didorong (dari belakang) dan didewasakan (diberi kesempatan mandiri). Tidak selamanya siswa harus dibantu, karena hidup sang “guru” terbatas pula. Ada saatnya ia dibantu, ada saatnya pula ia membantu dirinya dan orang lain.
Dengan bantuan kunci jawaban, ia menjadi yakin karena bantuan dari luar walaupun dalam kunci jawaban tidak 100% benar. Sebaliknya, tanpa kunci jawaban (bantuan), ia kurang bahkan tidak yakin terhadap apa yang dipikirkan, diperbuat, diputuskan oleh dirinya sendiri. Resiko yang buruk di masanya akan datang dari anak didik yang tidak memiliki kepercayaan diri sendiri akan menjadi parasit bagi orang lain. Tentu kita sebagai guru tidak menginginkan “cetakan” kita seperti itu.

5. Meningkatkan Rasa Tidak Mengharigai Usaha dan Kerja Keras

Dengan menjadi siswa yang masuk kualifikasi / juara, mereka akan bangga dan malu karena kualifikasi yang diterimanya tidak sesuai dengan kemampuan sebenarnya yang dimiliki. Karena ia menjadi “pemenang” ia tahu / tidak tahu seberapa besarnya usaha siswa lain yang jujur, mereka tidak ambil pusing terhadap itu semua, bisa jadi mereka menganggap siswa jujur “sama saja” dengan mereka.
Ketidak-bisaan menghargai kerja keras orang lain, akan berdampak ia tidak akan ambil pusing terhadap jerih payah yang orang lain lakukan. Dalam kehidupan ke depan, ia memiliki kemungkinan menjadi pemimpin yang kejam, menginginkan hasil maksimal namun tidak mengerti keterbatasan.

6. Membanggakan Karya Orang Lain

Saat seorang mendapatkan hasil dengan “bantuan” dari luar merupakan hasil yang bukan sepenuhnya dari usaha sendiri. Jika ”bantuan”nya dari skala persentasi melebihi 50% berarti itu adalah hasil dari usaha orang lain. Apabila bantuan dari luar 50% dan usaha sendiri 50% berarti hasil bersama.
Siswa yang ujiannya dibantu bisa berarti ia tidak mengerjakannya sendiri. Dan apabila ia masuk kualifikasi atau lulus kemudian ia bangga, siswa tersebut bangga terhadap hasil kerja keras orang lain. Apabila ia mengerjakan dengan cara dan usahanya sendiri, dia akan malu melihat hasilnya tidak sebagus yang diinginkan. Dengan kata lain siswa tersebut lebih mementingkan hasil dengan jalan dan cara apapun dibanding ia memaknai proses / jalan menuju tujuannya.